Puasa Ramadhan : Mendidik Karakter Anak

Berita Utama

Loading

Kuala Lumpur – Ramadhan bagi umat Islam adalah bulan yang ditunggu-tunggu ketibaannya. Disamping menjanjikan berbagai keutamaan (fadhilah) bagi umat manusia, ia juga bulan yang disyariatkan didalamnya ibadah puasa. Sebagaimana difirmankan Allah SWT dalam Q.S. Al-Baqoroh 183, yang artinya : Wahai orang-orang yang beriman ! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.

 
Setiap kali Ramadhan datang,  bisa disaksikan dimana-mana semarak masyarakat; perorangan maupun institusi, menyongsongnya dengan penuh kegembiraan. Di kantor-kantor diselenggarakan ceramah-ceramah ramadhan. Keluarga, sahabat dan handai taulan beramai-ramai menggelar buka bersama yang disisipi dengan tazdkiroh maupun taushiyah tentang Ramadhan.

 
Tak kurang lembaga-lembaga pendidikan dan ormas-ormas sosial keagamaan, mereka sibuk menyelenggarakan berbagai kegiatan pesantren kilat untuk membekali peserta didik maupun partisipannya dengan dasar-dasar keilmuan dan wawasan keagamaan.
 
Musholla dan Masjid di segala penjuru kota dan kampung-kampung terasa sekali meningkat nuansa keruhanian dan spirit keagamaannya. Para jama’ah diajak  untuk menghidupkan (ihya) Ramadhan dengan berbagai menu kegiatan ibadah demi mendapatkan makna kemuliaan Ramadhan secara spiritual.
 
Fenomena diatas tampak jelas di masyarakat, dan biasanya dibarengi dengan kesemarakan dibidang ekonomi maupun sosial. Betapa banyak volume peningkatan konsumsi yang terjadi di masyarakat selama Ramadhan, sehingga berdampak pada perekonomian masyarakat melalui sektor perdagangan dan jasa. Diakui atau tidak, ini merupakan berkah dari Ramadhan.
 
Ramadhan sesungguhnya memberikan makna bagi siapa saja yang mau merenunginya. Sebagaimana disinggung diatas, kenyataannya bulan mulia ini memberikan keuntungan secara material ekonimis (duniawi) maupun keakhiratan (ukhrowi). Secara tidak langsung, bulan ini juga mendidik masyarakat (tentu utamanya bagi mereka yang beriman) menjadi manusia-manusia yang baik. Selaras dengan tujuan dari disyariatkannya ibadah puasa, yaitu agar menjadi manusia yang bertaqwa.
 
Untuk sebagian orang tua dan kalangan pendidik, yang nota bene mempunyai perhatian (concern) dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan dasar, pelaksanaan ibadah Ramadhan sesungguhnya mempunyai fungsi penting dalam pendidikan anak-anak. Terutama yang berkaitan dengan pendidikan kepribadian dan karakter (basic value) sebagai modal dasar kehidupan sehari-hari.
 
Aspek Karakter Dalam Puasa Ramadhan
 
Banyak orang tua mengharapkan anak-anaknya bisa melaksanakan ibadah agama sejak dini, karenanya mereka mendidik dan menggalakkan sedari kecil putra-putrinya berlatih menjalankan peribadatan yang disyariatkan Allah swt kepada hamba-hambaNya. Hal yang demikian, dikandung maksud agar kalau sampai masanya (baligh), sudah tidak canggung lagi dalam menjalankan perintah agamanya.
 
Agama Islam menganjurkan untuk mendidik dan mengajari anak-anak belajar berbagai ketrampilan hidup (life skill) sejak mereka kanak-kanak. Sehingga bisa ditemukan anjuran untuk mengajari mereka berenag, memanah, dan menunggang kuda (tentu zaman sekarang bisa dianalogikan dengan keahlian lain). Demikian juga untuk melaksanakan perintah agama yang sifatnya wajib asasi (fardhu ‘ain) seperti; sholat. Orang tua sangat digalakkan agar mendidik putra-putrinya mengerjakan sejak usia belia; tujuh tahun dan apabila sudah sepuluh, mereka (anak-anak) boleh dikerasi.
 
Hal ini memberikan pelajaran, bahwa; untuk mendidik dan mengajarkan sesuatu kepada manusia, idealnya memang dimulai sejak mereka masih kecil. Ternyata thesis yang demikian, sesuai dengan theory dan ilmu pengetahuan moderen. Atlit, seniman, maupun para pemilik ketrampilan dan keahlian, untuk mencapai puncak prestasi, mereka belajar dan berlatih sejak usia muda belia.
 
Demikian juga dengan pembentukan pribadi, akhlak, maupun karakter manusia (syahsiyah). Harus dimulai sejak usia dini, dan memerlukan waktu yang relatif lama. Karena karakter itu, menurut hemat penulis adalah kumulatif dari pembiasaan perilaku sejak kecil (character is formed profoundly by sustainable habits).
 
Ternyata puasa Ramadhan, berfungsi juga sebagai media pendidikan terhadap aspek-aspek karakter manusia. Jika kita mau tekun membimbing putra-putri kita sedari kecil secara teratur berpuasa, hasilnya bisa akan terinternalisasi dan mewujud menjadi akhlak (karakter) kepridadian yang baik.
Adapun aspek-aspek karakter tersebut, pertama adalah; Disiplin bangun pagi, aspek ini bisa kita lihat ketika sahur; makan di pagi buta bagi seseorang yang akan menjalankan puasa merupakan sesuatu yang penting. Sehingga ajaran agama menganjurkan melalui hadits rosulnya: fainna fis sahuuri barokah (dalam sahur itu ada keberkatan).
 
Disebalik itu, bagi orang tua yang mengajarkan anak-anaknya berpuasa, secara tidak langsung mereka telah mengajarkan anak-anaknya untuk membiasakan bangun pagi. Bagi sebagian orang mungkin memandang sebelah mata kebiasaan bangun pagi ini, tetapi sesungguhnya kebiasaan bangun pagi adalah kebiasaan yang menguntungkan dan membawa kebaikan bagi siapa saja yang biasa melakukannya. Secara sederhana kita bisa mengatakan; ibarat kompetisi; orang yang membiasakan bangun pagi sama artinya memulai aktifitas kehidupan terlebih dahulu (menang), dibandingkan orang lain yang masih tidur.
 
Pendapat mengatakan, bahwa salah satu kunci sukses adalah apa bila kita bisa melakukan apa yang orang lain belum/tidak lakukan. Hal ini bersesuaian dengan pepatah i’maluu fawqo maa ‘amiluu. Kita akan berprestasi kalau bisa mengerjakan apa yang orang lain tidak bisa.
Menurut pengalaman, menjadikan anak-anak terbiasa bangun pagi tidaklah mudah. Betapa banyak orang tua mengeluh susah membiasakan anak-anaknya bangun pagi, sekedar untuk sekolah misalnya. Faktanya memang demikian,  Masya Allah ! susah kalau tidak terbiasa. Apalagi bangun sebelum subuh, sebagaimana di bulan Ramadhan.
 
Seandainya saja kita bisa mendidikkan semangat bangun pagi kepada putra-putri kita sejak kecil tidak hanya di bulan Ramadhan, tentu kebiasaan itu akan melekat dan akan dibawanya sepanjang hidup, dan tentu akan berguna bagi dirinya dalam mengarungi kehidupan.
 
Kedua; Taat peraturan, berpuasa sama seperti ibadah yang lain, ada syarat dan rukun yang harus ditepati. Sebagaimana yang kita kenal, rukun puasa adalah menahan makan dan minum serta menjaga dari hal-hal yang bisa membatalkannya dari fajar subuh sampai tenggelamnya matahari disaat maghrib.
 
Anak-anak yang diajarkan berpuasa, sudah selazimnya mereka juga diberikan informasi bahwa dalam pelaksanaan puasa ada peraturan yang harus ditaati oleh mereka. Dan yang lebih penting lagi, lewat moment ibadah puasa ini kita mendidik mereka untuk menjaga dari melanggar peraturan dan malu jika melakukan yang tidak boleh.
Pernahkah kita menjumpai anak-anak yang masih belajar berpuasa, karena lupa dia mengambil makanan untuk dimakan. Kemudian ada yang mengingatkan, tentu dengan serta merta diurungkannya niat tersebut dan malu karena hampir saja melakukan kesalahan.
 
Melalui ibadah puasa, kita bisa mendidik dengan membiasakan anak taat peraturan dan malu jika melanggarnya. Hal demikian sama hakikatnya dengan sikap kita terhadap peraturan dan hukum positif dalam kehidupan bermasyarakat. Jika anak sudah terbiasa menjaga diri dari melakukan kesalahan, maka kelak akan menjadi individu yang taat pula pada peraturan dan hukum.
Sekarang orang berbuat salah banyak yang tidak malu, bahkan dipertontonkan. Lagi-lagi ini adalah masalah integritas. Karenanya, tidak mengherankan ajaran agama mengatakan; malu adalah bagian dari keimanan seseorang. Malah dalam salah satu haditsnya rosulullah saw menegaskan, bahwa: idza lam tastahyi fasna’ maa syi’ta, yang artinya: jika kamu sudah tidak mempunyai rasa malu, maka berbuatlah sesukamu.
 
Ketiga; Prihatin, termasuk merupakan aspek karakter yang bisa terpengaruh oleh pelaksanaan puasa Ramadhan. Anak-anak yang biasa puasa, berarti dirinya telah berlatih untuk bisa bertahan hidup dalam kondisi minimal. Dalam kehidupan, manusia tidak selalu berada pada keadaan yang menyenangkan (comfort zone), bisa saja ada kalanya diuji dengan keadaan yang serba kekurangan.
Bagi yang biasa dalam kondisi prihatin, dia akan bertahan beradaptasi sehingga akan tetap servive menghadapi ujian kehidupan. Sebaliknya, bagi yang mempunyai kepribadian lembek karena tidak biasa hidup prihatin, niscaya mudah jatuh dan menyerah (Surrender) dengan kesulitan yang dihadapi.
 
Sekali lagi sikap prihatin perlu dilatihkan sejak kecil, karena tidak mungkin muncul secara tiba-tiba. Melalui puasa Ramadhan inilah, diharapkan lahir pribadi tangguh yang tidak cengeng kala menghadapi keadaan terburuk pada dirinya. Dalam konteks ini, kita diingatkan oleh pesan ajaran agama yang mengatakan: al-mu’minul qowiyyu ahabbu ilallahi minal mu’minidh dho’iif, artinya: Allah lebih menyukai mukmin yang kuat (termasuk kepribadiannya tentu) daripada mukmin yang lemah.
 
Keempat; Peduli, adalah aspek karakter lain yang bisa diasah melalui puasa Ramadhan, yaitu; keadaan jiwa dimana seseorang bisa larut merasakan kondisi orang lain, kemudian diikuti tindakan ingin menyelesaikan masalah. Dengan puasa kita diuji kepekaan sosial kita, diuji dengan persoalan basic need kemanusiaan kita yaitu lapar dan dahaga.
Anak yang berlatih puasa sejak kecil dan dibimbing untuk mengerti makna hakikat puasa, pasti sedikit demi sedikit terbuka mata hatinya untuk melihat kenyataan sosial di sekeliling yang berbeda dengan dirinya.
 
Lapar dan dahaganya puasa, menjadi pemicu merasakan bagaimana lapar dan dahaganya orang lain yang tidak cukup makan minum sehari-hari. Berangsur-angsur sikap tersebut jika dipupuk, akan melahirkan kepedulian yang akan melahirkan sikap suka menolong sesama.
Jiwa peduli sesama ini yang semakin meluntur. Ungkapan lu lu gue gue, merupakan frasa yang lumrah, cuek juga hal yang biasa di tengah masayarakat kita yang cenderung individualis dan materialistis. Kebiasaan yang kurang baik tersebut, bisa saja diminimalisir dengan menanamkan sikap peduli kepada generasi muda melalui hakikat dan makna ibadah puasa di bulan Ramadhan.
 
Kelima adalah Sabar, aspek kelima ini bagi orang yang mengamalkan ibadah puasa secara imanan wahtisaaban (iman dan mengharap keridhoan Allah swt) akan benar-benar merasakan arti ibadah puasa. Tidak terkecuali anak-anak kita yang masih dalam tahap belajar berpuasa. Orang yang berpuasa itu selain menjaga tidak makan minum sampai batas waktu yang dibolehkan, juga diharapkan bisa mengendalikan nafsunya.
 
Orang yang bisa mengendalikan nafsunya, berarti orang tersebut juga telah bersabar. Putra-putri kita yang diajari berpuasa, mereka tahu dan menjalankannya dengan sabar, sampai pada waktu diperbolehkan berbuka. Itu artinya secara tidak langsung kita membiasakan mereka bersusah-susah dulu (lapar) dan senang pada akhirnya ketika saat berbuka tiba.
 
Dengan puasa orang dilatih bersabar, dilatih tidak tergesa-gesa dan terburu-buru hanya karena ingin memenuhi hasrat hawa nafsunya. Dalam kehidupan, sering kita mendapatkan pengalaman yang tidak baik dikarenakan ketidaksabaran kita. Persis seperti yang diungkapkan pepatah al-‘ajalatun nadamah; yang namanya ketergesaan itu hanya akan menimbulkan penyesalan.
 
Kita tidak menginginkan anak-anak kita, menjadi generasi yang matang sebelum waktunya, karbitan, dan bermental ingin serba instan. Oleh karenanya puasa Ramadhan menjadi wahana dalam mendidik mereka menjadi manusia sabar dan cermat dalam hidupnya. Ajaran agama kita juga menganjurkan demikian sebagaimana termaktub dalam Q.S. Al-Baqoroh 45 : mintalah tolong kepada Allah dengan sabar dan sholat. Sebagian ulama’ menafsirkan bahwa sabar yang dimaksud adalah puasa, karena memang as-Shoum nisfus shobri : puasa itu sebagian dari kesabaran. (Wallahu A’lam) (Sltn)
 
 

Leave a Reply