“Deep Learning Penting untuk Semua Jenjang Pendidikan”

Berita Utama

Loading

Oleh: Muhammad Firdaus
Atdikbud KBRI Kuala Lumpur

Baru-baru ini saya melakukan kunjungan rutin ke salah satu sekolah Indonesia di luar negeri. Pada saat saya masuk ke kelas 6, siswa sedang diberikan materi pelajaran statistika. Luar biasa sebetulnya di tingkat SD, murid sudah belajar mean, median dan mode. Saya perhatikan guru dengan baik sudah mengajarkan cara menghitung ketiga nilai statistik tersebut. Namun penggunaan “logika” masih terbatas.

Karena sangat relevan dengan mata kuliah yang saya asuh di IPB, saya langsung tertarik untuk mengajak siswa mendalami. Awalnya dengan menjelaskan “epistemologi” rataan, nilai tengah dan modus. Ada kesan memang siswa lebih menguasai cara menghitungnya, belum kepada pengertian atau kegunaan dari pengetahuan terhadap angka-angka yang diperoleh. Berbagai ilustrasi saya coba sampaikan, mulai dari siswa yang mempunyai tinggi badan bervariasi namun secara umum sesama siswa kelas 6 di sekolah Internasional badannya lebih tinggi daripada siswa kelas 6 di sekolah Indonesia. Dalam ilustrasi lain, saya memberikan contoh hasil panen dari pohon sawit di Malaysia yang lebih banyak dari pohon sawit di Indonesia. Dengan kata lain kita bisa membandingkan antar kelompok mana yang lebih produktif, mana yang lebih baik kondisinya dan seterusnya. Modus yang berasal dari kata mode (yang paling sering ditampilkan) dapat menunjukkan perstiwa yang paling sering terjadi. Sebagai contoh kejahatan yang frekuensinya paling tinggi di beberapa kota wisata di Eropa adalah pencopetan.

Siswa memang tidak cukup diberikan angka-angka lalu menghitung ketiga nilai statistik tadi. Seharusnya diberikan ilustrasi semisal terdapat data tinggi badan murid di tiga sekolah. Lalu siswa diminta menentukan sekolah mana yang mempunyai siswa dengan rata-rata badan paling tinggi. Juga dapat diberikan ilustrasi perhitungan misalnya jika ingin menentukan kelompok mana yang akan jadi pemenang dalam suatu lomba yang diikuti secara bersama-sama.

Deep learning yang sedang diusung Mendikdasmen menurut hemat saya juga sangat penting diterapkan di kurikulum Perguruan Tinggi. Saya yang mengasuh mata kuliah ekonomi dan metode kuantitatif seperti ekonometrika, melihat di banyak universitas dosen dan mahasiswa mengandalkan tayangan power point, yang tidak jarang “dihafalkan” mahasiswa saat akan menempuh ujian. Budaya membaca buku teks “asli” atau yang memang ditulis pakar ternama sering menjadi barang langka. Ilustasi yang menarik dan pemahaman secara mendalam akibatnya tidak diperoleh mahasiswa.

Kebanyakan mahasiswa ekonomi saat ini merekam dalam ingatan mereka daftar asumsi yang membedakan pasar yang bersaing (disebut PPS di Indonesia), dengan monopoli atau oligopoli. Mulai dari jumlah penjual dan pembeli, keadaan produk dan seterusnya. Daftar ini biasanya dihafal sebagai penciri jenis struktur pasar. Samuelson dalam buku pengantar ekonominya memberikan ilustrasi struktur pasar dalam sebuah “continuum” yang mempunyai dua titik ekstrim di ujung kanan adalah pasar yang bersaing (seperti sifat malaikat), dan di ujung kiri adalah monopoli (seperti sifat iblis). Tentu kebanyakan yang berlaku di dunia nyata adalah di sepanjang kontinum tersebut (sifat manusia biasa). Yang menarik untuk ditanyakan kepada mahasiswa sebagai bagian dari deep learning adalah misalnya: dimana letak titik struktur pasar persaingan monopolistik dan oligopoli. Mana yang lebih dekat ke ekstrim kanan atau sebaliknya? Tentu hal ini tidak dapat ditanyakan kepada mahasiswa yang hanya menghafal daftar asumsi struktur pasar. Tidak jarang poin-poin daftar tersebutlah yang menjadi materi dalam soal ujian.

Untuk metode kuantitatif seperti ekonometrika dan matematika ekonomi, deep learning semakin diperlukan. Mahasiswa tidak boleh hanya diberikan pengetahuan persaman-persamaan hubungan Y dan X, atau teknik menghitung besaran slope atau konstanta garis regresi. Pemaknaan secara baik mulai dari pemahamam dasar semisal korelaai dan garis regresi sampai kepada mengartikan dengan “logika” ekonomi besaran parameter dugaan atau residual yang diperoleh seyogyanya menjadi sasaran pembelajaran.

Pada era 1980 dan 1990-an, di perguruan tinggi Indonesia pelajaran ekonometrika diberikan kepada mahasiswa dengan buku teks dari Koutsoyiannis. Dalam buku ini secara konsisten pemahaman awal teori regresi diberikan dengan ilustrasi fungsi konsumsi. Meksipun ada kecenderungan secara rata-rata konsumsi akan naik dengan semakin besarnya pendapatan, namun pengeluaran masyarakat tertentu bisa lebih tinggi dibanding yang lainnya, walaupun dengan pendapatan yang sama, atau sebaliknya, karena ada faktor lain semisal jumlah anggota keluarga, living cost dll. Garis regresi bertugas mencari dugaan besaran hubungan antara konsumsi dan pendapatan tersebut. Lebih lanjut tentunya dosen dapat menjelaskan fenomena bahwa jika ada dua kelompok masyarakat atau negara yang berbeda pendapatannya, maka akan diperoleh kecenderungan mengkomsumsi yang lebih menuju satu atau nol, bahkan sampai kepada logika mengapa ekonomi negara sedang berkembang seperti Indonesia lebih tinggi dari negara yang sudah maju. Dengan demikian mahasiswa tidak hanya sekedar terampil dalam menghitung berbagai parameter dugaan. Tentu saja, cerita menarik lain semisal dari Gauss tentang tinggi badan anak dan orang tuanya juga akan dapat memperkaya logika mahasiswa.

Pada tingkat yang lebih tinggi, semisal materi data panel dinamik di ekonometrika, jika mahasiswa diberikan tugas membaca buku teks semisal dari Baltagi atau Hayashi, maka akan dapat dipeoleh berbagai ilustrasi dari hasil riset penulisnya. Dalam satu model yang ditulis Baltagi berkenaan dengan kasus permintaan rokok di Amerika Serikat, setidaknya mahasiswa dapat belajar dari dua logika menarik yang dibangun dalam model. Pertama, kata dinamik menunjukkan adanya pengaruh waktu terhadap variabel konsumsi rokok negara-negara bagian. Unsur dinamka muncul karena adanya sifat “addict” dalam mengkonsumsi rokok. Ini sama halnya dengan jika ada riset konsumsi beras di Indonesia atau model investasi yang dibangun oleh Tobin. Pengalaman saya dalam menelaah disertasi atau artikel jurnal, kebanyakan mahasiswa atau peneliti tidak menjelaskan logika tersebut, hanya menunjukkan bahwa di dalam model ada variabel beda kala di ruas kanan. Kedua, pada model yang dibangun, Baltagi memasukkan variabel tingkat harga rokok negara bagian yang terdekat dengan negara bagian yang diobservasi. Di AS pada sepanjang periode penelitian, ada kebijakan pembedaan tarif cukai rokok antar wilayah, misalnya di daerah pusat pariwisata tarif dibuat lebih tinggi dibanding wilayah yang menjadi kantong utama veteran perang berdomisili. Variabel tersebut dimasukkan sebagai proksi terhadap kejadian penyelundupan rokok dari satu negara bagian ke wilayah yang lain. Tentu saja kita tidak pernah mendapatkan data berapa jumlah rokok yang diselundupkan.

Pembelajaran secara mendalam juga dapat diilustrasikan pada pelajaran matematika, baik di tingkat dasar atau yang lebih tinggi. Anak-anak yang baru dikenalkan angka dapat diberikan ilustrasi mengelompokkan buah-buahan berdasarkam warna dengan jumlah tertentu. Siswa dapat melakukan operasi penambahan atau yang lainnya secara lebih nyata. Pada pelajaran kalkulus, saat mempelajari turunan fungsi atau diferensial, kurva pangkat tiga yang dalam ekonomi disebut sebagai fungsi produksi klasik dapat digunakan untuk memberikan ilustrasi tentang proses biologis yang terjadi di alam. Contoh sederhana seperti pengaruh pemupukan pada tanaman atau penggunaan tenaga kerja pada usahatani padi. Titik belok dapat diartikan sebagai tambahan dampak yang mulai menurun karena jumlah pupuk atau pekerja yang terus dinaikkan. Demikian seterusnya sampai kurva mencapai titik maksimum.

Membangun logika seperti di atas, tentunya sangat penting dalam suasana murid sekolah atau mahasiswa dengan mudah mengakses berbagai informasi dengan menggunakan fasilitas AI seperti chatgpt atau deepseek. Bantuan sumber informasi digital seyogyanya tidak mengurangi kemampuan generasi penerus untuk berdaptasi atau memitigasi kondisi lingkungan yang semakin tidak dapat diprediksi. Berpikir kreatif atau inovatif menjadi kunci keberhasilan sumber daya manusia Indonesia untuk memenangkan persaingan global, guna mencapai Indonesia emas. Pembelajaran deep learning adalah jembatan untuk menanamkan nilai bahwa belajar di sekolah atau kuliah bukan untuk mengejar prestasi akademik semata, namun agar generasi masa depan dapat memecahkan masalah kehidupan dalam bermasyarakat secara cerdas.