Oleh : Ghulam dan Shelly
Sejak penjemputan di Kuala Lumpur International Air Port, kesan begitu ramahnya guru Sekolah Indonesia Kuala Lumpur (SIKL) sudah tampak melalui best service nya dengan cara menjemput rombongan mahasiswa praktikan dari UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Kesan pertama ini seolah-olah sarat akan makna bahwa ini masih Indonesia, bukan Malaysia.
Hawa nasionalisme telah terasa sejak kali pertama sampai di gerbang SIKL. Terik matahari yang begitu menyengat seakan tak terasa lagi ketika melihat lambang Garuda Pancasila terpampang jelas di gerbang sekolah. Centre For Education And Culture Embassy Of The Republic Of Indonesia. Ya. Tulisan itulah yang terpampang berjejer dengan lambang Garuda Pancasila. Memasuki gerbang sekolah, sambutan notice “Kawasan Wajib Berbahasa Indonesia” semakin menjelaskan bahwa sekolah ini merupakan sekolah Indonesia.
Sekolah yang menjadi tempat practical rombongan mahasiswa UIN Malang selama dua minggu ke depan ini merupakan sebuah sekolah terpadu yang berjenjang dari Taman Kanak-kanak hingga Universitas. Di bawah naungan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI), sekolah ini didirikan dengan tujuan untuk memfasilitasi warga Indonesia yang tinggal di Kuala Lumpur agar tetap bisa merasakan sejuknya angin pendidikan yang ada di sekolah dengan suasana khas ke Indonesia an.
Memasuki halaman sekolah, berdiri dengan tegak sebuah tiang yang menjadi penyangga bendera merah putih. Seakan tak ragu menampakkan jati diri masyarakat Indonesia yang gagah berani dengan merah menyalanya dibalut kelembutan nan kesucian masyarakat timur yang terwakilkan dari putih tulang pusaka merah putih. Dari situlah, semangat nasionalisme kembali mengudara, setelah ciut nyali karena “kegagahan” harimau malaya.
Bertemu dengan orang-orang yang ramah, toleransi tinggi, dan saling menghormati merupakan suatu kebanggaan tersendiri. Betapa tidak, berada di negeri orang, tetapi masih merasakan begitu kentalnya watak masyarakat Indonesia. Budaya saling menyapa, senyum, dan salim dengan mencium tangan antara guru dan siswa masih terasa kental di sekolah yang terletak di lorong Tun Ismail No. 1 Kuala Lumpur ini. Hal yang patut diberikan penghargaan setinggi-tingginya adalah ketika mereka telah lama menetap di negeri yang memiliki lambang Jata Negara, tetapi mereka masih teguh untuk menggenggam nasionalisme.
Tentu bukan perkara yang mudah bagi mereka yang memegang predikat seorang pendidik Sekolah Indonesia yang berada di negeri orang. Banyak hal yang senantiasa menjadi santapan wajib sehari-hari ketika mereka menghadapi siswa yang berasal dari berbagai macam latar belakang. Berjumpa dengan siswa berkebangsaan Indonesia memang sudah biasa, tetapi yang menjadikan luar biasa adalah menghadapi mereka dengan latar belakang yang berbeda-beda. Dari Sabang sampai Merauke. Dengan adat dan budaya yang sangat jelas berbeda, tetapi hal tersebut tak menjadi alasan bagi mereka untuk tidak menjaga Bhineka Tunggal Ika.
Menghadapi peserta didik Indonesia yang tinggal di kawasan multi etnis dan budaya seperti halnya Melayu, Cina, dan bahkan India menjadi tantangan tersendiri bagi para pendidik. Sedangkan para pendidik yang dibawa langsung dari Indonesia mempunyai tugas khusus untuk menyampaikan materi pelajaran dan juga menjaga rasa kebangsaan yang tinggi untuk negara Indonesia. Berbagai upaya telah mereka lakukan untuk mempertahankan nasionalisme siswa. Mulai dari mengadakan upacara bendera hari Senin yang didalamnya terdapat pengibaran Sang Saka Merah Putih, menyanyikan lagu Indonesia Raya, mengucapkan pancasila dan UUD 1945, dan mengheningkan cipta untuk mengenang para pahlawan. Terlepas dari itu semua, lagu wajib nasional menjadi makanan para siswa pada jam pertama sebelum memulai pembelajaran bahkan dengan mewajibkan siswa untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar di setiap harinya.
Berbagai alasan mereka lontarkan kenapa mereka berada di Malaysia. Seperti halnya mengikuti kepindahan orang tua yang mencari nafkah di Malaysia, ada juga peserta didik keturunan Indonesia yang lahir di Malaysia, ada diantara mereka yang menetap di Malaysia untuk selamanya dan ada juga dari mereka yang hanya 3-4 tahun, kemudian mereka kembali ke Indonesia. Bahkan diantara mereka ada juga yang ditinggal orang tuanya sendirian di tanah rantau sedangkan, orangtua mereka kembali ke Indonesia. Hal ini dikarenakan mereka tak ingin “susah” untuk mengurus kepindahan anak-anak mereka.
Tidak mudah menjadi bagian dari pendidik Sekolah Indonesia Kuala Lumpur. Selain secara administratif harus melalui seleksi di kementerian Luar Negeri, secara kultural pendidik disana harus mengerti betul bagaimana mendidik dan mengasuh peserta didik di kawasan salad bowl seperti ini. Kenapa demikian, mereka yang datangnya dari seluruh Indonesia, dengan budaya asli daerah masing – masing seperti Jawa, Kalimantan, Sumatera, Nusa Tenggara dan Sulawesi menjadi sedikit kerikil kecil dalam perjalanan yang harus segera diselesaikan untuk tercapainya tujuan pendidikan dan satunya Indonesia. Selain itu, tidak adanya sistem seleksi masuk untuk Sekolah Dasar dan menengah menjadi tantangan tersendiri. Kemampuan peserta didik yang berbeda dan juga latar belakang pendidikan mereka yang tak sama tentunya juga bukan perkara mudah bagi pendidik. Namun, bagi para guru yang berada di SIKL bukan menjadi masalah besar, karena kewajiban mereka untuk mencerdaskan kehidupan anak bangsa yang terlekat kuat di sanubari mengalahkan segala problema diatas.
Perpaduan budaya Indonesia dengan budaya Melayu yang cenderung mendominasi menjadikan siswa SIKL mempunyai etos kerja yang baik, daya saing yang kuat, dan semangat belajar yang tinggi. Pengaruh budaya masyarakat Malaysia yang terkenal mempunyai mobilitas tinggi ikut berpartisipasi dalam pembentukan karakter siswa. Hal tersebut bisa dibuktikan dari kehidupan sehari-hari di lingkungan sekolah yang sangat menghargai dan menghormati pendidik. Pun ketika menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan, mereka selalu tepat waktu. Semangat belajar yang tinggi mereka tunjukkan dengan antusias mereka dalam proses pembelajaran.
Semoga yang menjadi hajat besar bersama yaitu menjunjung tinggi patriotisme serta nasionalisme terhadap NKRI tetap berlangsung dengan hangatnya di Sekolah Indonesia Kuala Lumpur ini. Perjalanan mahasiswa UIN Maliki yang telah usai untuk saat ini, semoga tetap terpatri di dalam hati dan sanubari sivitas akademika Sekolah Indonesia Kuala Lumpur. Demikian juga sumbangsih besar dari bapak ibu dewan guru, karyawan dan peserta didik untuk mengisi perjalanan akademis yang selama ini ditempuh, semoga menjadi manfaat dan berkah tersendiri bagi mahasiswa khususnya, serta keluarga besar SIKL. Semoga kerjasama yang baik akan tetap terjalin ke depannya.
Sekolah Indonesia Kuala Lumpur,
Selasa, 10 Maret 2015
Ghulam Nurul Wildan – Shellya Khabib Dirgantari
Mahasiswa Praktikan UIN Maliki Malang