Kabut Asap dan Tanggung Jawab Kepemimpinan

Berita Utama

Loading

Oleh: Sulton Kamal

Kuala Lumpur, Rasanya sudah cukup lama betapa banyak orang yang nggrundel (resah), mengumpat dan bahkan mungkin sampai kepada mengutuk dengan keadaan (cuaca) yang semakin tidak bersahabat akhir-akhir ini. Mereka merasakan pernapasannya terganggu kurang lega, dan tidak jarang dibarengi dengan batuk-batuk, sedang matanya pedih dan gatal. Semua ini diakibatkan karena munculnya kabut asap (Asap berdebu hasil pembakaran) yang sudah beberapa bulan datang, hilang, dan datang kembali di langit sekitar lingkungan tempat tinggalnya, Klang Valley (Lembah Klang) Selangor dan Wilayah Persekutuan Kuala Lumpur serta wilayah lain di Malaysia.

Entah sudah berapa hari sekolah-sekolah diliburkan, dan kapan lagi anak-anak sekolah tidak masuk sekolah, tidak ada yang tahu. Selama ini yang terjadi adalah, pemerintah melalui kementrian pendidikan akan mengumumkan sekolah-sekolah diliburkan karena Index Pencemaran Udara (IPU) angkanya terkadang sudah mencapai 200 bahkan lebih, angka yang menunjukkan kadar udara tercemar yang tidak menyehatkan untuk pernapasan manusia, apalagi bagi anak-anak usia sekolah.

Kalau sudah demikian keadaannya, orang tua yang masih mempunyai anak-anak sekolah mulai cemas menunggu-nunggu pengumuman dari pemerintah setempat atau dari institusi sekolah dimana anaknya bersekolah, tentang peliburan sesi persekolahan karena keadaan kabut asap yang sudah sangat pekat memenuhi ruang langit udara.

Bagi orang tua, di satu sisi merasa kasihan sekali membiarkan anak-anaknya tetap masuk sekolah walaupun menggunakan masker, tapi kondisi cuaca buruk tidak menyehatkan bagi pernapasan buah hatinya. Di sisi lain, orang tua juga kesel (jengkel) mau sampai kapan anak-anak mereka tidak mendapat pelajaran sebagaimana mestinya, karena sekolah lagi-lagi libur secara mendadak disebabkan adanya pengumuman (dari sekolah maupun pemerntah) tentang memburuknya kondisi cuaca.

Ini keadaan yang dialami orang-orang di Semenanjung Malaysia barat. Munculnya kabut asap yang datang dari negeri tercinta, sudah sangat merepotkan aktifitas kehidupan manusia secara umum. Pada satu waktu jerebu (Meminjam istilah orang Malaysia untuk kabut asap pembakaran) datang sangat pekat sekali, ada saatnya jerebu berangsur-angsur menghilang ditiup angin entah kemana, ada ketikanya juga hilang bersama datangnya hujan lebat.

Pada tahun 2015 ini, fenomena kabut asap ini dirasakan kurang lebih mulai sejak akhir Agustus, secara perlahan-lahan tapi pasti ia datang tidak tentu waktu, kemudin menghilang. Kejadian ini berlangsung terus secara berulang-ulang. Dibandingkan dengan di daerah-daerah asal asap yang kemarau, Alhamdulillah disini masih sangat beruntung karena mendapatkan rahmat Allah, berupa hujan yang sesekali turun. Dengan turunnya hujan tersebut jasat renik debu pembakaran yang beterbangan di udara jatuh bersama air ke tanah, nafaspun lega karena udara segar dan cuaca cerah kembali.

Rungutan orang tentang asap ini sungguh sangat bisa dimengerti, mereka yang bertempat tinggal relatif jauh saja sudah sangat terganggu, apalagi bagi mereka yang tinggal di daerah-daerah seperti Riau, Pekanbaru, Dumai, Jambi, Palembang, Palangkaraya, Banjarmasin dan daerah lain yang lokasinya sangat dekat dengan titik-titik api di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, bahkan di Papua dll. Bisa dibayangkan betapa nestapanya saudara-saudara kita disana, bukankah udara bersih adalah kebutuhan yang vital bagi kehidupan manusia, bahkan termasuk juga binatang dan hewan ternak.

Jadi derita anak-anak di kawasan berdekatan dengan hutan terbakar, karena tidak belajar di sekolah, atau kalau sekolah terpaksa harus menghirup asap pembakaran yang tak menyehatkan, sangat mengetuk nurani kemanusiaan kita. Demikian juga kesusahan saudara-saudara kita dalam mencari nafkah keseharian, karena terganggu dengan pencemaran udara kotor yang sudah berlangsung sekian lama, sekali lagi sungguh sangat memprihatinkan dan patut kita berempati serta berusaha mencarikan solusinya dengan segera.

Siapa Bertanggung Jawab

Menurut kabar berita, kejadian kabut asap yang membumbung di langit begitu pekat dan ditiup angin kemana-mana itu, berasal dari kebakaran di hutan-hutan di sebagian Sumatra, Kalimantan dan wilayah-wilayah lain di Indonesia. Konon ceritanya para pengusaha yang mendapatkan hak pengelolaan hutan, untuk mengganti kawasan hutan itu dengan tanaman produktif, mereka membebaskannya degan cara mudah yaitu dengan dibakar. Harapannya lahan hutan yang berhektar-hektar luasnya, segera bisa diganti dengan tanaman yang bisa menghasilkan, semisal tanaman pohon kelapa sawit.

Kalau benar seperti itu caritanya, sungguh tidak bertanggung jawab mereka orang-orang yang memberikan kebijakan dan mereka yang mengambil keputusan dengan cara yang sebegitu. Apalagi tindakan itu dibarengi dengan musim kemarau yang memanjang, menjadikan segalanya kering dan mudah untuk terbakar. Ditambah lagi hutan-hutan dan kawasan di Kalimantan terkenal dengan daerah yang bertanah gambut, sehingga tanahpun sangat berpotensi untuk dapat terbakar dan menyumbang terciptanya titik-titik api kebakaran.

Kita tidak bisa menyalahkan begitu saja dengan adanya musim kemarau (Alam) yang berkepanjangan. Kekeringan akibat kemarau panjang adalah mungkin merupakan pemicu sebagian dari terjadinya kebakaran hutan di tanah air. Kalaupun iya alam boleh dipersalahkan, niscaya tidak sampai titik-titik api kebakaran di hutan jumlahnya sangat banyak sekali, sampai 3000an (Bahkan bisa lebih dari itu) titik api di seluruh Indonesia.

Kalimantan Tengah 910, Sumatra Selatan 797, Kalimantan Selatan 231, Jambi 175, Kalimantan Timur160, Riau 39, Kepulauan Riau 2, Bangka Belitung 39, Lampung 8, Kalimantan Barat 22, Jawa Timur 20, dan Jawa Barat 4, total titik api di barat Indonesia berjumlah 2.407.

Sedangkan untuk di wilayah timur Indonesia terdapat 819 titik api, yang mayoritas terdapat di provinsi Papua yaitu sekitar 584 titik api, dan di Papua Barat menyumbang 48 titik, ditambah titik api lokasi lain, seperti Maluku 88 titik api, Maluku Utara 36, Nusa Tenggara Timur 13, Nusa Tenggara Barat 11, Sulawesi Selatan 23, Sulawesi Barat 9, Sulawesi Tengah 6, dan Sulawesi Utara 1, sebagaimana yang diberitakan cnnindonesia.com 21/10/2015.

Tidak bisa dipungkiri bahwa dalam kejadian ini pasti ada peran manusia, bahkan mungkin malah menjadi penyebab yang utama. Keserakahan segelintir manusialah yang ditengarai menjadi penyumbang terbesar kejadian semua ini. Persis seperti apa yang diingatkan Allah Swt dalam al-Quran surat ar-Rum ayat 41: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. ar-Rum: 41).

Manusialah yang bertanggung jawab penuh dalam masalah ini, oleh karenanya siapapun orangnya apakah dia itu peladang berpindah, pekerja perusahaan perkebunan, pengusaha perkebunan, direksi perkebunan, pemodal, pemimpin-pemimpin daerah, pembuat kebijakan, dan pengambil keputusan baik ditingkat daerah maupun pusat, termasuk jajaran pimpinan level nasional yang secara langsung dan tidak, telah menyebabkan terjadinya kerusakan ekosistem dan terbakarnya hutan tropis yang luas.

Merekalah (Khususnya bagi para pemimpin) yang secara moral pertama kali seharusnya menyadari bahwa tindakannya adalah salah. Lebih dari itu mereka juga sudah sepatutnya bertanggung jawab serta berjanji tidak akan mengulangi lagi tindakannya, karena akibat tindakannya itu ternyata sangat merugikan serta mendholimi masyarakat banyak.

Bagi mereka para pemimpin, musibah ini kiranya sudah dapat dikatagorikan seperti yang dikatakan oleh Mahatma Gandhi sebagai social sins atau dosa sosial, yaitu pertanggungjawaban moral yang seharusnya dilakukan oleh orang perorang sebagai individu pimpinan, kelompok, atau lembaga kekuasaan, yang telah mengambil sebuah kebijakan keliru, dan akibat kebijakannya itu menyebabkan dampak buruk (merugikan) secara langsung atau tidak, bagi keberlangsungan hidup pihak lain secara umum di muka bumi.

Instrospeksi dan Solusi

Kejadian kebakaran hutan yang hebat, sehingga menyebabkan terjadinya kabut asap dimana-mana, sebenarnya kalau kita mau mengakui bukanlah fenomena yang terjadi sekarang-sekarang ini saja. Hampir semua masyarakat mengetahui, setiap kali datang musim kemarau, maka musibah kebakaran melanda hutan-hutan kita di berbagai daerah terutama sekali di pulau Sumatra dan Kalimantan.

Pemerintah daerah dan pusat serta pemangku kebijakan ditingkat kabupaten/kota maupun propinsi, bahkan di tingkat nasional mungkin sudah berupaya maksimal untuk memadamkan titik-titik api yang membakar hutan tropis kita. Bahkan bantuan dari negara-negara tetangga dan sahabat seperti Malaysia, Singapura, Australia, bahkan Rusia datang silih berganti dengan membawa pesawat udara yang bisa mengangkut air berton-ton sekali terbang.

Tapi sampai sekarang, titik-titik api itu belum berhasil dipadamkan secara signifikan. Ini terjadi karena begitu banyak dan luasnya kawasan yang terbakar sehingga upaya pemadaman menggunakan air yang disiramkan melalui pesawat belum cukup sebanding dengan banyaknya titik-titik api dan bara serta sekam yang ada akibat pembakaran.

Musibah kabut asap ini seharusnya menjadikan manusia, khususnya bagi para pemimpin masyarakat baik di tingkat bawah sampai atas, lokal maupun nasional untuk berinstrospeksi diri, melihat ke dalam, tentang kebijakan dan keputusan yang diambilnya pada masa lalu (selama ini) sehingga mengakibatkan musibah seperti ini.

Dalam catatan memori kita, kebakaran hutan yang berakibat kabut asap ini merupakan peristiwa yang selalu berulang-ulang, mengapa dari tahun ke tahun masih saja terjadi ? Mengapa dan mengapa, menjadi banyak pertanyaan orang. Seolah-olah pemerintah, dalam hal ini para pengambil kebijakan atau para pemimpin negeri ini tidak mengambil pelajaran dari kejadian pada masa lalu, malah sangat mungkin melakukan hal yang sama dengan kebijakan yang sudah-sudah, padahal akibatnya merugikan orang banyak.

Seperti pepatah lama: “Mencegah lebih baik daripada mengobati”, dalam kasus musibah kabut asap ini, penulis merasa bahwa makna yang dikandung dalam pepatah ini sesuai untuk menjadi alternatif terbaik bagi solusi mengatasi kebakaran hutan, (Solusi juga banyak disuarakan oleh kalangan masayrakat) tentu disamping usaha-usaha yang sudah dilakukan untuk memadamkan kebakaran hutan yang telah terjadi.

Seandainya saja bukan “pembakaran” yang dijadikan pilihan untuk mengganti tanaman hutan dengan tanaman produktif. Dan seandainya juga regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah betul-betul ketat dan mengedepankan pencegahan, mungkin musibah tahunan ini bisa dihindari, minimal eskalasi titik api kebakaran hutan kita diwaktu musim kemarau tidak semasif seperti sekarang-sekarang ini.

Yakinlah bahwa semua ini terjadi lebih dikarenakan oleh ulah tangan-tangan manusia sebagaimana Allah juga mengingatkan dengan firmannya dalam al-Quran surat asy-Syura, ayat 30: “Dan apapun musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (kesalahan-kesalahanmu)”.

Adapun upaya terakhir yang bisa dilakukan untuk mengatasi musibah kebakaran yang sudah berlangsung lama ini, sekaligus membantu saudara-saudara kita terbebas dari derita menghirup asap kebakaran hutan, adalah mengharap agar para pemimpin kita dan seluruh elemen bangsa ini, mau bertaubat dan mengakui atas segala dosa dan kesalahan-kesalahannya, selama ini.

Kemudian, karena titik api kebakaran hutan yang begitu luas sehingga sangat menyulitkan untuk bisa memadamkannya secara keseluruhan, kecuali bila hujan lebat turun secara merata. Oleh karena itu ada baiknya “meyerah” seraya mengakui kebesaranNya dan mengembalikan pemadaman musibah kebakaran hutan ini kepada Allah.

Ada baiknya dimulai dari para pemimpin untuk mengajak kepada pemuka-pemuka agama bersama-sama masyarakat umum untuk menyelenggarakan sholat istisqo (Meminta hujan) dimana-mana, dan berdoa kepada Allah agar segera menurunkan hujan yang bisa memadamkan titik-titik api dan melenyapkan asapnya. Wallahu A’lam (Sltn)

Leave a Reply