Menyekolahkan Anak

Berita Utama

Loading

Kuala Lumpur – Bulan juli sebentar lagi, sebagaimana kita ketahui dalam kalender pendidikan nasional, Juli adalah bulan dimulainya tahun pelajaran baru bagi sekolah-sekolah negeri maupun swasta yang menganut sistim pendidikan nasional di seluruh Indonesia.

Pada bulan itulah kita bisa melihat anak-anak mulai menggunakan seragam baru; merah, biru, maupun abu-abu putih. Jauh-jauh hari sebelum bulan Juli, banyak orang tua yang sibuk dan mempersiapkan, serta bertanya-tanya dalam benak hatinya: kemana menyekolahkan anak-anak mereka ?

Sebetulnya tidak ada yang aneh dari kejadian rutin tiap tahun pada jenjang pendidikan sekolah dasar dan menengah ini. Hanya saja terkadang kita tidak menyadari kenapa kita mesti berfikir untuk menyekolahkan anak, juga bisa saja ada yang belum tahu untuk apa hakikat menuntut ilmu, dan kenapa kita menggalakkan anak-anak untuk belajar.

Celakanya masih ada juga sebagian masyarakat yang apriori dan menyepelekan serta bersikap: “Tidak masalah belajar dimana, yang penting anak saya sekolah seperti anak-anak yang lain”. Sebaliknya, tidak sedikit pula terjadi di masyarakat orang tua yang mengharuskan anaknya untuk belajar di sekolah tertentu, sampai-sampai mereka kadang terkesan memaksakan kehendaknya kepada si anak.
 
Sekarang di Indonesia kita banyak mengenal varian dan model institusi pendidikan yang mengembangkan sistim pembelajaran yang relatif beragam, seperti: Sekolah Alam, Sekolah Kreatif, Sekolah Terpadu, ada juga yang berbentuk Home Schooling, maupun istilah-istilah sekolah yang lainnya.
 
Bahkan ada yang terus terang kontra dengan model pendidikan dan pembelajaran yang dikelola sebagaimana sekolah konvensional yang kita kenal. Mereka secara ekstrem menyebut bahwa sekolah itu candu.
 
Lupakan dulu tentang banyaknya variasi model-model sekolah diatas, sebaliknya kita lihat bagaimana kebanyakan masyarakat menyekolahkan anak-anaknya pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, yang umum ada ditengah-tengah masyarakat kita.
 
Kebanyakan masyarakat menyekolahkan anaknya, pertama sekali adalah agar sianak menjadi pandai secara akademis, mendapatkan nilai yang tinggi-tinggi disetiap mata pelajaran terutamanya pelajaran eksakta, baru kemudian secara berturut-turut agar berprestasi dibidang tertentu, maupun membuat orang tuanya bangga dengan anaknya.
 
Sehingga lazim para orang tua zaman sekarang menyuruh anaknya untuk mengikuti drill mata pelajaran tambahan diluar jam formal pelajaran sekolah, dan mengambil serangkaian kursus ketrampilan yang banyak sekali.
 
Alasan dalam benak mereka sederhana saja; kalau nilai akademis maupun prestasinya bagus, serta mempunyai banyak ketrampilan memadahi, mudah bagi sianak untuk melanjutkan ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi: Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang bergengsi, dan kelak kalau lulus PTN bisa untuk mencari pekerjaan. Karenanya muncul pembenaran ungkapan di khalayak ramai yang mengatakan: “Mencari ilmu tinggi-tinggi, ngapain kalau tidak untuk mendapatkan pekerjaan yang menjanjikan”.
 
Jadi diakui atau tidak, bahwa atmosphir berfikir masyarakat kita kebanyakan sudah mengambil jalan relatif pragmatis –Tentu tidak ada gunanya menyalah-nyalahkan, karena ini merupakan konsekwensi kehidupan dunia yang semakin kompetitif dan materialistis– dalam mengarahkan pendidikan anak-anaknya.
 
Motifasi mendidik anak disimplifikasi dengan mendapatkan nilai akademis yang tinggi dan tujuan-tujuan materi serta sekedar orientasi keduniaan (dunia kerja) an-sich. Hampir tidak ada motifasi dan alasan-alasan sepiritual yang melatarbelakanginya, apalagi ibadah maupun kewajiban ukhrowi, sebagaimana yang diwejangkan dalam khazanah ajaran keagamaan yang dianut sebagian besar masyarakat kita.
 
Lain dulu lain sekarang
 
Menyekolahkan anak, atau kalau sebenarnya mau menggunakan ungkapan yang lebih sesuai; mendidik anak, sesungguhnya memang menjadi tanggung jawab orang tua dan menjadi hak bagi setiap anak untuk mendapatkannya.
 
Cukup banyak tuntunan ajaran agama yang mengajarkan kepada kita tentang kewajiban orang tua terhadap anak-anaknya. Sekedar untuk menyebutkan adalah adanya anjuran agama agar para orang tua untuk mendidik anak-anak dengan al-Quran (Tentu maknanya luas), memberinya nama yang baik, dan menikahkannya kelak ketika dewasa.
 
Ungkapan menyekolahkan anak sebenarnaya secara tidak langsung muncul karena poses penyederhanaan dan penyempitan makna saja dari mendidik anak, yang awalnya merupakan tanggung jawab melekat pada setiap orang tua, karena berbagai hal kemudian oleh mereka didelegasikan kepada institusi yang namanya sekolah, perguruan (peguron), taman pendidikan, bahkan pesantren (tempat santri menetap menuntut ilmu) atau lembaga-lembaga yang semakna.
 
Tradisi mencari ilmu, adalah kelaziman pada setiap peradaban manusia yang berlaku sejak dulu dan ada pada bangsa-bangsa secara umum didunia. Orang-orang Yunani dahulu pergi mencari ilmu dengan mendatangi para cerdik cendekia karena merasa mereka mempunyai dan memanfaatkan waktu luang atau Skhole dalam bahasa Latin, sehingga istilah itu berkembang sampai sekarang menjadi school dan sekolahan.
 
Demikian juga dengan bangsa kita di Nusantara, dahulu orang mencari ilmu dengan mendatangi para Guru, Ulama, Kyai dan orang-orang pandai lainnya. Para orang tua yang mengerti bahwa memberi bekal ilmu adalah tanggung jawabnya dalam mendidik anak, tapi karena tidak bisa dilaksanankan sendiri, maka mereka mengantarkan putra-putri mereka kepada orang-orang pandai diatas untuk dididik, dan dari situ muncul istilah Peguron (tempat para guru), Taman Siswo (tempat para siswa) dan Pesantren (tempat belajarnya para cantrik /penuntut ilmu).
 
Aktifitas menuntut ilmu pada masa itu, disamping didasari oleh niatan yang tulus sebagai ibadah juga disadari oleh orang tua bahwa; Ini adalah untuk memenuhi kewajiban dalam menjalankan perintah agama terhadap anaknya. Mereka tidak asal menitipkan anak-anaknya pada institusi dan guru kalau tidak mengenal dan mempercayainya dengan baik, sehingga mereka benar-benar ikhlas memasrahkan anak-anaknya untuk diajar dan dididik sesuai dengan “curriculum ” yang ada sampai pada waktu tertentu.
 
Demikian juga bagi sianak: menuntut ilmu juga merupakan pengejawantahan dari sebagian kewajiban menjalankan perintah agamanya, karena mencari ilmu itu dalam Agama Islam adalah Faridhotun ‘ala kulli muslimin wa muslimatin wajib bagi setiap laki-laki dan perempuan.
 
Dari itu tidak dipungkiri kalau kemudian kedudukan seorang guru atau ‘alim sangat dihormati dan disanjung oleh para pencari ilmu, sehingga terkadang menurut ukuran zaman sekarang ada tindakan murid terhadap gurunya yang dianggap berlebihan, karena sangat hormatnya.
 
Ini disebabkan karena cara pandang (World View) dan semangat yang melandasi mereka pergi mendatangi para cendekiawan maupun orang-orang sholeh untuk menuntut ilmu, pada ketika itu memang motivasinya hanya karena perintah agama; Fi Sabilillah Li Tholabil Ilmi dan kepentingan Ukhrowi.
 
Tidak ada dalam diri mereka nawaitu keduniawian; karena ingin menjadi ini dan itu kelak kemudian hari, apalagi hanya sekedar untuk mengisi waktu luang. Dapat dimengerti mengapa para orang tua kita dahulu di Jawa khususnya, kalau hendak mengantar anak-anaknya menuntut ilmu, mereka selalu dibekali selain beras dan lauk-pauk kering yang tahan lama, dibekali juga Tebu dan Cengkir (kelapa muda).
 
Ternyata terkandung makna dan filosofi didalamnya kenapa mereka membawakan tebu dan cengkir. Bahasa Jawa mengenal yang namanya Kirotoboso (singkatan bahasa yang bermakna) yang biasa digunakan untuk  membahasakan pralambang sesuatu.
 
Dan menurut masyarakat Jawa istilah tebu diartikan dengan anteping kalbu atau kuatnya tekad/ hati (Strong Motivation), adapun cengkir bermakna kencenging pikir atau berfikir keras dalam belajar, sedangkan ilmu sendiri dibahasakan dengan ngelmu yang artinya angeling ketemu (Susah untuk mendapatkannya). (Sltn)
 
Artikel ini pernah dimuat di www.detik.com Rabu/26/6/2013 
 

Leave a Reply